Aku tidak ingin berdoa

Tema terbesar dalam hidupku yang menjadi semangat tatkala membuka mata di pagi hari adalah cinta. Tapi kehidupan cintaku menjadi satu-satunya hal yang tak pernah kukomunikasikan dengan Tuhan. Aku bahagia, aku sedih, aku senang, aku menderita, semuanya Tuhan tahu. Aku tidak sampai hati berdoa kepadanya tentang cinta. Aku akan terima semua yang dia berikan kepadaku. Semua rasa itu. Cinta bagiku bukan hal yang setengah-setengah. Jika bahagia, maka itu über bahagia dan jika sedih maka itu sedih yang sedalam-dalamnya. Aku tidak sanggup berdoa kepada Tuhan meminta cinta. Aku tahu konsekuensinya. Aku meminta yang lain saja. Sudah Tuhan, mari kita sudahi saja.

Tschüss Sulwhasoo, danke

Rasa hati nano-nano, campur-campur, saat membuang pot trakhir cream moisturizer dari Sulwhasoo ke keranjang sampah. Aku tidak ingin seperti kacang yang lupa pada kulitnya. Meninggalkan setelah mendapatkan kebaikan, sungguh menyakitkan. Telah bertahun-tahun aku merawat kulit mukaku dengan krem korea ini. Moisturizer bernama lengkap Sulwhasoo essential firming cream ini bukti nyata dari seruan: talk less, do more, iklannya sophisticated banget dengan BA artis Korea berisinial SHK yang terkenal itu.

Aku tentu saja hanya sanggup beli yang kemasan mini-mini 5mili. Masih ingat dulu awal beli satu pot harganya masih 19ribu. Ini hasil scrolling shopee dengan screening mulai harga terendah 😄. Kemudian dia mulai naik, dan naik harganya. Terakhir beli aku harus membayar 50ribu untuk satu pot 5mililiter. Tetap kubeli lah. Karena memang tidak ada pilihan lain selain krim ini. Aku tidak percaya krim lokal kita. Don’t get me wrong. Bukan berarti aku bergaya, sok, arogan, sombong, ga cinta produk dalam negeri atau apalah sebutannya, tapi aku mencari kebaikan pribadi, kualitas dan manfaat untukku. Dan harus kuakui sekian lama memakai krim punya Wardah dan Olay di aku efeknya ga terlalu meyakinkan. Belum. Padahal sewaktu tinggal di Jerman, Olay ini adalah andalanku. Dan aku melanjutkan memakainya sekembali ke Indonesia. Tapi di sini kebaikan itu tidak bertahan. Lantas aku pindah ke wardah untuk bertahun-tahun juga lamanya. Bertahan dengannya meskipun tidak terlalu memuaskan. Pikirku paling tidak dia tidak membuat mukaku jerawatan ataupun keluhan yang lain. But above all, wardah is only another B product to me. Hingga akhirnya ada masukan tentang skincare Korea. Bukan apa-apa, usia sudah kepala tiga bok, iming-iming dengan kata youthful, anti aging, firming dan lain-lain tentu membuat kepala noleh kan. Kemudian terdamparlah pada krem Sulwhasoo ini and I think I found someone something for me indeed. Berkolaborasi dengan bermacam produk untuk masing-masing slot tahapan skincare yang dianjurkan, mukaku perlahan nampak lain. Pendek kata, investasi itu sudah menunjukan hasilnya. Paling enggak muka jadi halus, mulus, ga gradakan, pori kalem kinclong alias glowy bahkan orang dari jauh sudah bisa menebak kalau aku perawatan hahaha. Bangga banget deh. Jujur aja dari sejak mukim di Jerman, mukanya aku sudah jadi panutan teman-teman sih. Pas winter ga breakout dan cakep maksimal, pas summer tetap keren aja gitu. Meskipun demikian, kondisi kulitku yang sekarang ini menurutku adalah yang terbaik di banding waktu-waktu yang lalu, termasuk saat di Jerman. Seandainya sudah menerapkan perawatan basis yang benar, mungkin sudah sehat banget dari dulu ya. Anyhow, keadaan ini sudah harus disyukuri lebih dari segala-galanya. Ketika orang masih menganggapmu 5-8 tahun lebih muda. Dan teman-temanmu mulai menjadikanmu konsultan perawatan hahaha. Okelah. That is what Friends are for.

Lantas kenapa aku say goodbye pada sulwhasoo? Tak lain dan tak bukan adalah karena masalah harga dan kemudahan akses mendapatkan, paling utama jelas harga sih. Jujur ngaku aja kalau ini mah. Tight budget skincare-ist kayak aku memang harus tahu diri. Terlebih dengan keadaan pandemi waktu ini. Barang langka memicu kenaikan harga. Wajar. Oleh karena itu aku kemudian mencari alternatif. Dengan mengetikkan kata kunci yang kira-kira isinya sama dengan kandungan krim favorit aku itu. Antara lain glycerin dan ceramide. Soalnya kulitku kan normal agak kekeringan gitu, macam dompet ini lah kakaak. Dan dengan kata kunci itu aku mendapat daftar produk yang bisa jadi pilihan terkait pertimbangan harga tadi. Dan aku memilih pelembab dari The Aubree ceramide. Ntar aku cerita tentang ini deh. Yang pasti, aku sudah ngitung, harganya lebih terjangkau yaitu 99ribu/30ml (sama seperti beli 6 pot krem sulwhasoo dengan harga lebih murah.

Bulan Maret kemarin

Kalau dicermati, paling tidak sebulan sekali saya menulis di seprintil dua printil di blog ini. Memang pernah dulu diniatinya begitu. Ngepos sesuatu, curhat sekalian nyampah juga kadang iya. Karena kan saya sudah steril main fb tuh. Alhamdulillah tidak tergoda barang sedikitpun untuk log in lagi di sana. FB saya tidak deaktifkan, hanya hibernasi, tidak log in sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Oh iya, kembali ke judul tulisan. Bulan Maret kemarin tidak ada tulisan sama sekali. Maka tulisan ini saya setting diposkan tanggal 30 Maret, tepat di akhir bulan. Ada beberapa cerita yang mojok di hati, benak, dan otak saya. Salah satunya adalah “akhirnya” di menit-menit terakhir saya mendaftarkan diri mengikuti ujian toelf IBT. Tepatnya kurang dari 10 hari jelang hari H ujiannya. Untungnya masih kebagian tempat ya. Dan hari sabtu, 16 Maret 2019 kemarin berhasil ikut ujian Toefl IBT. Berhasil ikut doang, sedang result tes benernya nanti saya cerita di post khusus.

Btw, bulan Maret kemarin juga sepertinya saya gagal nembus pre-eliminasi beasiswa (lagi) dari Jerman. Kok bisa tahu kalau gagal? Karena panitianya sudah nulis, bahwa hanya kandidat yang terpilih yang akan dihubungi bakal lanjut submit proposal lengkap, dan sampai sekarang saya tidak dihubungi. Ambil kesimpulan sendiri dong saya.  Kecewa? Pasti. Terlebih karena lokasi sekolahnya itu di Frankfurt sana. Diam-diam, jauh di lubuk hati saya yang ga seberapa dalam ini, ada seseorang yang ingin saya temukan di Frankfurt. “Temukan” loh ya bukan “temui”. Artinya masih gambling, seperti menyibak jerami mencari sebuah jarum kecil yang belum tentu ada. Ah cinta, penderitaannya tiada akhir.

Talk in talk

Jelang akhir tahun 2018 ya. Hidup terasa makin berat saja ketika semua harus diputuskan sendiri. Gue heran, kenapa gue begitu enggan berbagi bahkan untuk cerita sekalipun, padahal di sisi lain, gue berhadapan dengan masalah yang gue rasakan cukup berat kalau ditanggung sendiri, masalah yang perlu pembahasan serius dan mendalam. Tapi ya itu tadi. Gue ga punya siapa-siapa yang bisa gue percaya. Gue ga bisa cerita dan minta pendapat orang lain, semuanya hanya disimpan. Kenapa? #tarik napas dalam

it’s about the balance between work/life, career/home, connection/ambition, but it’s also about that fine line that exists between a tender sort of self-care and what self-care looks like from an adulting viewpoint. When there’s no “mother” or parental figure helping you to make the “right” or most appropriate decisions – the ones that you know that you need to make even though all you want to do is indulge in the easy or fun option.

Tahun ini/depan gue harus bisa submit aplikasi s3 gue ke Jerman. Dan gue sangat bersemangat dan full powered di sini. Tapiii… Ada tapinya, gue takut ngomong ke ortu tentang niat ini. Pernah mlipir ke mami soal ninggalin rumah buat ke Jerman lagi. Dan kanjeng mami langsung naik oktaf, “orang tua sudah tua dan sakit-sakitan kok malah ditinggal”. Di situ gue langsung terpuruk. Lagi-lagi gue nyesal balik ke Indonesia. Long story lah kenapa dulu gue balik, alih-alih lanjut promosi doktoral seperti yang ditawarkan profesor gue.

Bukan cuma masalah keilmuan yang bikin gue pengen pergi dari sini. Ambisi gue juga tidak terpenuhi di sini. Belum lagi gue dendam sama mantan yang membuat kehidupan romantisme gue pahit banget ga ada manis-manisnya. Padahal gue tahu pasti, tanpa ” perdamaian hati” dengan semua hal itu, gue akan selalu menghindar dari segala yang terkait jodoh. Fixed gue gitu mah. Mau dikenalkan orang aja gue menghindar melulu. Gue takut gue jadi durhaka ga cuma ke ortu tapi juga ke suami karena jujur gue ga mikir sama sekali soal pernikahan. Gue lebih mikir kebebasan gue untuk belajar dan eksplorasi ilmu. Suami ideal gue harus bisa kasih kebebasan dan jaditeman belajar gue. Yang mana bisa semua itu gue dapat dengan suami (calon) yang disodorkan ortu dan teman-teman gue. Mereka yang fokus ada konsep istri melayani suami dan tidak lupa akan kodratnya. And suddenly all those preachy talks came by.

Dan tau ga?

Barusan gue dapat info bahwa salah satu kampus di penang lagi nyari pengajar buat fakultas mereka yang akan ada kerja sama dengan salah satu universitas di Jerman, double degree. Dan gue ditawarin. Makin pusing mak.

Ya dua-duanya belum pasti sih. Baik ngajar di Malaysia maupun lanjut S3 di Jerman. Be honest, gue lebih condong ke Jerman, karena gue ngerasa dengan gelar s3 gue akan lebih mantap melangkah dan gue emang kangeeen banget sekolah. Gue pengen terlibat diskusi ilmiah yang mencerahkan. Gue kangen balik kampus. Ya emang sekarang gue di akademisi sih, cuma kan tau sendiri di Indonesia kayak apa😢 . Betapa panggilan kampus luar itu sangat kurindukan. Dan Jerman? Let’s just say that all I want for christmas is German(y) (campus)

ni mimpi gue, sinau,

Anyway, gue merasa terbebani tapi gue juga sadar sesadar-sadarnya bahwa gue ga berhak teriak-teriak bilang bahwa gue bukan satu-satunya anak ortu gue dan bilang bahwa semuanya ga harus gue karena masih ada anak mereka yang lain, yaitu kakak gue. Masa gue tega bilang gitu. Durhaka. Mereka sudah bekerja keras dan berdoa untuk gue #cry

Ujung-ujungnya paling gue salahin diri gue karena bermimpi terlalu tinggi. Cuma gue ga salah-salah banget sih. Menurut gue lo. Gue ga pernah kepikiran pacaran trus berumah tangga gitu waktu dulu. Bangunan romantisme kehidupan gue dulu ga pernah lebih dari naksir dan ngecengin doang. Untuk jadi eksklusif itu ga pernah ada. Teman gue pada nikah gue malah pergi ke Jerman. Nah abis itu gue pikir gue akan catch up ketinggalan gue terkait nikah ini. Tapi juga enggak kan.

Tentang Sri Mulyani 

Gue kagum pada menteri keuangan Bu Sri Mulyani. Gue memang ga dong ekonomi ya, jadi argumen pro-kontra apapun akan gue terima (kalau ada yang berargumentasi tentang beliau dan cara kerja beliau). Di sini gue ngelihatnya dari sosok, figur bu Sri Mulyani yang adalah seorang perempuan.

Let’s put it this way.

Gue perempuan, single (available #siapa tau ada yang nanya :P) jadi kan ga harus ngelayani suami, trus masih tinggal bersama orang tua. Gini aja gue suka puyeng ngurus keuangan keluarga dan keuangan pribadi gue. Gue sering senewen, baperan, dan lebay ga jelas. Teori sih ada. Aplikasi? Hahahaha ga berani jawab gue. # nunduk

Nah kalau bu Sri Mulyani? Dia ngurus negara lo. Duitnya orang banyak untuk orang banyak. Ibarat kata pemasukan dan pengeluaran harus seimbang (idealnya neraca kan gitu ya). Belum lagi kalau ada orang yang komentarnya riuh rendah. Kita eh gue ding, disapa dengan  sebutan “ibu” saja mikirnya sudah A sampai Z. Emang gue tampil sudah kayak ibu-ibu ya, gendut kah? Ada kerut di mana nih ? Dll. Bisa itu sampai bad mood seharian, kalau gue loooh. Kebayang doong kalau bu Mulyani baper dan ngambil keputusan keliru, urusannya sudah nyangkut ke negara. So I think, she’s been doing quite good job. And she is definitely the master of her work. I couldn’t agree more. 

Gue kagum pada beliau karena gue paham perempuan itu bagaimana (sok memahami dan berusaha paham karena kan gue juga perempuan). Perempuan itu stress prone, baperan emosional, semuanya itu besar kecil tetap bisa ngefek di kondisi fisik. Rambut rontok, mens ga teratur, penyakit psikis, kadang ga bisa tidur dan macam-macam lagi. Jadi ketika ada seorang yang bisa menemukan balance dalam aktivitas hidup dia, itu gue acungin jempol beneran.

Ya gitu deh perasaan gue. Gue kagum pada perempuan-perempuan hebat dan sehat, yang keren dan intens dalam kerjaan mereka. Buat gue perempuan harus bekerja dan menghargai perempuan yang lain. Semoga semua perempuan masuk surga #yang masuk kategori di atas. Jadi pelakor jelas ga masuk. Hahaha emang gue tukang bagi kunci ke surga apa😂. Kidding lah. You are what you are. No one can put the rule on you and hold you down or up 😉. Selama kita sayang pada sesama perempuan mungkin hal ini tidak akan terjadi. Jadi mungkin ini karena kita kurang kasih mengasihi dan sayang menyayangi  aja?

Hiding yourself

Okay, this would become some kind of confession, my confession. But first, let me ask you: “Have you ever done something undoing? Thing that you don’t realize until you understand what that really was, after time came passed by?”

Well, to be honest. I think we all have done it, once or even more. We are no angel afterall, right? To the very deepest part of my heart and my mind, I did it. I have put someone or more into the idea that “I like them/him”. Yes, it is about my relationship(s). And yes, they are all sh#t, as a matter of fact.

I would not pity myself, though I feel the pain until now. I realized that I have caused pain in somebody else’s heart too. Somebody, from whom I hide my self. Someone, whom I blocked from my social medias. Someone, from whom I kept myself anonym for so long. I really don’t want to have contact with him. Not until he found someone else rather than still tracking me and hounting me. I never have this feeling, this urge to hide. I scared if I had to deal with him again. Knowing how my energy was sucked up to its lowest.

I undoingly let my self being sucked up by providing him this all the best goddest like personality he ever found in a woman, which is I really am not. That in the end made me run away, far far away from him. For I really dislike the feeling.

Now I am in his position in regards to other man. Then I understand that feeling he has is the same feeling I had back time. He might be sucked up too. And the way he drawn back him self is the same way I took as I run away. He hides him self the same way as I hid myself. So that is why I have to back off, and go away from him. I have to put him right onto his exact position, human. Not god, not that perfect angel too.

libur di Jogja

Hari pertama gawe mata langsung sepet, punggung juga sampai panas saking pegelnya. terbukti, libur benar-benar telah usai. Maka hentikan mimpi, kemas diri hadapi kenyataan :D.

Hai, bagaimana liburan kalian?

Jujur, dulu gue pikir gue akan bahagia kalau gue ga ngapa-ngapain trus bebas mau ngapa-ngapain. Tapi ternyata semua ini salah. Liburan natal tahun baru yang kalau untuk pengajar itu terhitung lumayan lama liburnya malah bikin gue ga produktif. cuma gulang-gulung ga karuan, ga jelas. Jogja ga enak banget bagi para penghuninya kalau pas musim liburan gini. Karena mau ke mana-mana harus nambah jam perjalanan. Jelas tidak akan bisa sampai tepat waktu kalau untuk lepas dari Kleringan aja harus macet sejam dua jam dulu baru bisa cus sampai Krapyak atau tempat lain. Gue jadi merasa bersalah kepada para pendatang dan pelancong yang ingin menikmati Jogja. Jelas tidak akan menemukan Jogja yang seperti biasanya lah kalian. Ruwet hiruk pikuk itu bukan jogja sehari-hari, tapi jogja dalam liburan.

Memang tidak bisa menyalahkan siapapun dalam hal ini. Sistem liburan kita itu gotong royong. Satu libur semua libur juga. Gue kadang rindu libur di Jerman sana. Enak gitu. kalau orang gawe bisa ngatur liburnya sendiri, disesuaikan dengan kebutuhan. Yang penting 30 hari jatah libur setahun itu terpenuhi. #Indonesia kapan #ngayal lageee Besok-besok lagi kalau datang jangan pas liburan panjang gini ya. Takutnya kami ngecewain.

Sejauh ini gue sudah mencatat beberapa kekecewaan yang bisa gue tebak dirasakan oleh para pelancong.

  1. Macet: ya gimana lagi.  Hampir semua ruas jalan sampai yang jalan anak tikus pun dipadati mobil pribadi, carteran dan bis pariwisata. Gue liat banyak plat nomor kendaraan yang tidak gue kenal kalau tidak melihat buku pintar RPUL (Rangkuman pengetahuan umum lengkap. Hayo siapa punya :P). Plat B ? wuih itu kleleran di jalan. Plat AB malah jarang-jarang. Ngalah bro 😛
  2. Sulit cari tempat parkir. Jelas lah ini konsekuensi dari naiknya volume kendaraan yang masuk ke Jogja (bahasa liputan mudik di tipi-tipi :D). Naaah hal ini menimbulkan kekecewaan nomor 3 yaitu:
  3. Lahir tarif parkir liar binal ga masuk akal. Hiks….. Luar biasa kecewa gue dengan ini. Gue paling benci dengan orang aji mumpung yang tidak punya angka normal simpang toleransi sama sekali. Naikin sih boleh ya. Tapi ya jangan lah keterlaluan sangat. Malu tauuu.
  4. Harga kuliner yang tidak masuk akal. Nah kalau ini kakak gue kena. Padahal dia orang Jogja yang tinggal di Bantul :P. Waktu itu beliau jajan di Bantul juga, mungkin sekitaran depan pasar Bantul daaaan………… harga sate dia diketok saudara-saudara. Dia yang orang Bantul juga jajan sate di Bantul kena harga wisatawan. Terang aja dia sewot ga khatam-khatam trus nulis dan posting tulisan di berbagai grup media sosial yang dia punya. Sabar ya mbak. Gue bisa ngerti kekecewaan dia yang tiada tara itu. Karena tempat kejadian perkaranya kan di Bantul. Bantul yang dia bangga-banggakan karena belum kena proyek mall-isasi kayak kota Jogja. Yang menurut dia masih perawan. Yang melindungan pedagang pasar tradisional karena tidak mengeluarkan ijin untuk membuka toko ritel. Tapi ternyata ngetok harga kuliner berlebihan. Malu kali lah :P.
  5. Pengurangan servis. Ini dialami bapak. Jadi beliau beli gudeg dan yang beliau dapat adalah sayur tahu. Yes, bagi beliau itu adalah sayur tahu karena gudeg yang notabene adalah nangka muda itu jumlahnya lebih sedikit daripada tahu yang menemani gudegnya. # FYI: gudeg itu kan isinya olahan nangka, sambal goreng krecek tempe, dan areh dari blondo, biasanya ditambahi ayam, tahu dan atau telur coklat gitu. Positive thinking aja, mungkin sediaan nangka gudegnya benar-benar habis guna memenuhi kebutuhan para wisatawan. Jadi ikhlaskan lah #angel mode

Ngeri  #cerita perempuan

Setelah gue telateni nyatet semua debet kredit keuangan gue, yang terjadi sekarang adalah gue nanar. Gimana enggak? Baru tanggal 20 duit neraca gue sudah minus 500rb aja. Ya sih. Ada pengeluaran yang ekstra lebih besar. Gue harus nyicil bayar kacamata 500rb dan bikin paspor 355rb, trus beli barang titipan sahabat gue di jerman sana hampir sejuta. Hohoho. Ini ni bocornya saudara-saudara. Oke deh,  sepertinya minus ini bisa dimaafkan #bisa aja alasan 😀😀.

Sebenarnya bukan ini aja yang bikin gue ngeri. Kebiasaan suka gesek gue yang akhir-akhir ini kelewatan. Masih untung cuma gesek debit, yang artinya emang duitnya ada kalau yang digesek cc bisa cemut-cemut pala detektif conan kan #gue ga suka barbie

Sifat indulgence gue parah. Masih untung *nah kan. Gini ini yang ga gue suka. Karena suka bilang masih untung jadi berasa ga atau kurang bersalah. Huft* gue masih kekep dompet kenceng ga belanja online pas tanggal 11.11.  kemarin yang juga hari ol-shop nasional ya katanya. Tapi itu ga berarti gue trus suci tak bernoda gitu. Gue sudah proven guilty duluan di awal bulan, beli baju dan skincare yang a bit pricey. Trus pas di mirota gue eksekusi bedak makeover twc yang sudah gue incer sejak lama. Ini gue masih tahan-tahan ga beli lipstik dulu. Mau diniatin ngabisin semua pemerah gonjreng itu.

Yang gue sangsikan itu adalah kemampuan gue untuk bertahan dengan segala niatan yang gue sudah canangkan. Gue ngeri iih kalau harus sepertin

Me against my self: Procrastionation a.ka. Aufschiebeverhalten

Wenn man etwas bzw. eine Arbeit immer wieder zu verschieben anstatt sie zu erledigen.

Yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan  (suka) menunda pekerjaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam dunia pekerjaan bergaji loh ya tetapi dalam semua hal dan bisa menjangkiti semua orang: ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar, pejabat, umat, jamaah dll.

Saya termasuk yang paling akut kena virus ini. Intinya sih malas. Rasa malas mengantar kepada kebiasaan menunda-nunda, berprinsip kalau nanti bisa kenapa harus sekarang. Tahu loh padahal, kalau itu tidak benar, tapi masih juga dilakukan, kadang sadar kadang juga pura-pura tidak sadar. Jadi ingat om Freud yang kasih warning kalau kita itu melupakan karena sebenarnya tidak menginginkan (wir vergessen, weil wir es wollen). Tapi apa iya kalau kita tuh sebenarnya tidak menginginkannya? Entahlah. Yang saya tahu pasti adalah kalau kita terus menunda suatu pekerjaan, pikiran kita tidak akan tenang. Saya seperti itu. Akan ada masanya ketika kita sudah tidak punya pilihan lain selain eksekusi. Hal ini akan sangat terasa terutama saat kita tidak terikat kepada orang lain, tidak ada atasan atau bos yang meminta kerjaan kita, tidak ada dosen atau bapak ibu guru yang kalau tugas tidak terkumpul kita tidak dapat nilai, dan contoh lain-lainnya. Tidak ada apapun atau siapapun di sini. Yang ada adalah tekanan dari dalam diri sendiri untuk beraksi. Ibarat kata ini adalah saat kita berhadapan dengan diri kita. Me against my self.

Tadi baru saja saya menyelesaikan pendaftaran online di salah satu  situs management reksadana. Saya sudah lama mengupdate diri saya tentang reksadana, mempelajarinya, mengikuti perkembangannya. Ada masanya juga ketika saya membuka berlembar-lembar halaman forum online yang membahas reksadana. Perencanaan strategis pembelian reksadanapun sudah manis dan tersusun rapi.  Tapi nyatanya baru hari ini saya eksekusi. Tanya kenapa ????

Saya begitu ingin melanjutkan promosi s3. Tahun berlalu keinginan itu tetap sebatas keinginan belaka. Paling mentok saya cuma mengumpulkan informasi pembukaan graduate studi atau penawaran beasiswa studi s3 sedang hal-hal yang lain terkait persiapan menuju ke sana sama sekali tak tersentuh. Padahal ide riset sudah ada dan bahkan berkarat sudah di dasar otak sana. Hingga kemudia waktu berlalu dan sekarang seperti dikejar untuk ambil keputusan, dihadapkan pada pilihan: NOW or NEVER !! . Dasar manusia ya, sukanya kok dipepet, disudutkan, didesak, diancam, dipersempit pilihannya. Kalau sudah begini barulah ambil tindakan.

Berderet keinginan dan tujuan semoga tidak hanya berakhir dalam lembaran daftar saja, tetapi bisa menjadi kenyataan. Intinya adalah melakukan. Iya, saya tahu itu. Semua orang juga tahu. Sudah khatam bahkan pengetahuannya tentang hal itu. Mungkin sekarang doanya harus diubah hehehe.  Mungkin formulasinya jadi begini: semoga selalu dihadapkan pada desakan, pada pilihan, dan dipepet untuk bertindak dan tidak menunda-nundanya lagi hingga titik darah penghabisan. halah.

Satu lagi. Pepatah Jawa ada yang berbunyi “Wit gedhang awoh pakel” artinya pohon pisang berbuah pakel (semacam buah kweni). Maksud pepatah itu adalah “ngomong gampang, nglakoni angel” artinya, mudah ngomongnya tapi menjalaninya sulit.  Ya gitu deh. Lagi-lagi in god we trust. Semoga Alloh memberi kemudahan dan kesempatan (lagi) dan kita (diri saya) bisa senantiasa mengingat untuk tidak lagi membuang waktu dan kesempatan (lagi). Karena Tuhan bisa saja mencukupkan semuanya hanya sampai di sini.  #krik-krik